Friday, May 27, 2016

peranG BadaR

PERANG BADAR KUBRA
Kezaliman kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin sudah tak terperikan. Termasuk ketika kaum Muslimin berhijrah dari Mekah menuju Madinah. Seluruh harta kaum Muslimin yang masih di sana, mereka rampas. Inilah di antara sebab yang mendorong kaum Muslimin melakukan pencegatan kafilah dagang kaum Quraisy yang melintas di Madinah. Pencegatan-pencegatan yang dilakukan kaum Muslimin atas perintah Rasulullah ini tidak membuat kafir Quraisy jera. Karena, belum pernah terjadi kontak fisik yang sengit di antara mereka. Menyadari bahaya yang terus mengintai, kafir Quraisy memperketat dan memperkuat sisi keamanan untuk mengawal bisnis mereka.
Sekilas Sejarah Perang Badar
Saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar ada kafilah dagang Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan bin Harb dengan 40 pengawal bergerak dari Syam membawa harta orang-orang Quraisy, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam segera mengajak kaum Muslimin untuk mencegatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Ini ada kelompok dagang Quraisy yang membawa harta-harta kaum Quraisy. Cegatlah mereka ! Semoga Allah Azza wa Jalla memberikannya kepada kalian.”[1]
Dalam sebuah riwayat, Abu Ayyûb al-Anshâri Radhiyallahu anhu mengatakan: “Saat kami berada di Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku diberitahu[2] tentang kedatangan kelompok dagang (pimpinan) Abu Sufyân, setujukah kalian kalau kita keluar mencegat kelompok dagang ini ? Semoga Allah Azza wa Jalla memberikannya kepada kita. “Kami menjawab : ’Ya’. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan kami pun ikut keluar bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam [3].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memobilisasi seluruh shahabat yang ada di Madinah, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyangka akan berhadapan dengan pasukan kafir Quraisy di medan tempur. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menyuruh mereka yang memiliki tunggangan untuk ikut serta[4] dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela para shahabat yang tidak ambil bagian dalam perang Badar [5]. Jumlah para shahabat yang mengiringi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat itu adalah 319 [6] dengan rincian 230-an kaum Anshâr, sisanya kaum Muhâjirîn. Mereka hanya membawa dua ekor kuda dan 70 unta yang kami tunggangi secara bergantian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta rombongan berangkat. Saat di Rauha`, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Abu Lubâbah Radhiyallahu anhu untuk kembali ke Madinah dan mengganti posisi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin dan sebelumnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat `Abdullâh bin Ummi Maktûm untuk menggantikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai imam.
Sementara itu, di pihak lain, Abu Sufyân pemimpin kafilah dagang ini terus dalam ekstra waspada dan bersiap-siap mengantisipasi berbagai kemungkinan. Oleh karena itu, ketika berita tentang rencana pencegatan kaum Muslimin ini sampai ke telinganya, dia segera mengirim utusan yang bernama Dhamdham ke Mekah untuk meminta bantuan. Setibanya di Mekah utusan ini berteriak-teriak meminta bantuan sembari memberitahukan harta benda kaum Quraisy yang terancam dirampas oleh kaum Muslimin. Mendengar teriakan ini, sontak seluruh kaum Quraisy keluar dengan membawa senjata, siap berhadapan dengan kaum Muslimin demi menyelamatkan kafilah dagang mereka dan memusnahkan kaum Muslimin yang mereka nilai sebagai ancaman bagi jalur bisnis mereka. Tidak ada seorang pun pembesar Quraisy yang absen dari pertempuran ini kecuali Abu Lahab. Dia menyuruh al-Ash bin Hisyâm menggantikannya. Tidak ada satu keluargapun yang tidak ikut kecuali bani Adiy. Jumlah mereka saat akan berangkat mencapai seribu orang.
Kendati sudah mengirim utusan ke Mekah, Abu Sufyân tidak berpangku tangan menunggu kedatangan bala bantuan. Dia terus berusaha mencari berita tentang keberadaan kaum Muslimin. Setelah mendapatkan kepastian posisi kaum Muslimin, dia mengambil jalan lain agar terhindar dari sergapan kaum Muslimin dan ternyata, dia berhasil. Kemudian dia mengirim utusan lagi ke pasukan kaum Quraisy yang masih berada di Juhfah guna memberitahukan keselamatannya dan meminta agar mereka mengurungkan niat menyerang kaum Muslimin. Abu Jahl yang memimpin pasukan kafir Quraisy tidak memperdulikan seruan Abu Sufyân. Abu Jahl mengatakan : “Demi Allah Azza wa Jalla , kita tidak akan kembali ke Mekah sebelum sampai ke Badr. Kita akan tinggal di sana selama tiga hari untuk memotong hewan, memberi makan dan minum khamer sambil menikmati nyanyian para biduwanita. Orang-orang Arab akan mendengar ekspedisi dan perkumpulan kita ini sehingga mereka akan tetap segan kepada kita selama-lamanya. Ayo, majulah !”[7]
Perintah Abu Jahl ditaati orang-orang Quraisy kecuali Akhnas bin Syarîq. Mereka pun kemudian melanjutkan perjalanan sampai ke dekat Badr.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bermusyawarah Dengan Para Sahabat
Kabar tentang pasukan Quraisy ini terdengar juga oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Kabar ini direspon oleh para Shahabat dengan respon yang berbeda. Sebagian mereka merasa khawatir karena pertempuran ini tidak disangka-sangka sama sekali dan mereka juga belum melakukan persiapan maksimal. Mereka berusaha menyampaikan berbagai alasan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diterima. Berkenaan dengan peristiwa ini, Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya :
كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ ﴿٥﴾ يُجَادِلُونَكَ فِي الْحَقِّ بَعْدَمَا تَبَيَّنَ كَأَنَّمَا يُسَاقُونَ إِلَى الْمَوْتِ وَهُمْ يَنْظُرُونَ
“Sebagaimana Rabbmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sebagian dari orang-orang yang beriman itu tidak menyukainya. Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab-sebab kematian itu)” [al-Anfâl/8:5-6]
Melihat keadaan yang kurang menggembirakan ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajak para shahabat beliau bermusyawarah untuk mengambil keputusan antara melanjutkan perjalanan dan bertempur, atau kembali ke Madinah. Pendapat pertama berasal dari pemimpin kaum Muhâjirîn yang menyatakan kesiapan mereka untuk bertempur dan tidak akan membiarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertempur seorang diri.[8] Kemudian disusul oleh kaum Anshâr yang diwakili oleh Sa’ad bin Mu’azd Radhiyallahu anhu yang juga menyatakan kesetiannya. [9]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa gembira mendengar ucapan para Shahabat ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ”Berangkatlah kalian dan berbahagialah karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjanjikanku salah satu dari kedua rombongan tersebut. Demi Allah Azza wa Jalla , seakan aku melihat kematian mereka sekarang.” [Ibnu Hisyâm 2/305-306, Ibnu Katsîr berkata: “ hadits ini memiliki syawâhid yang banyak”]
Musyawarah dengan para Shahabat juga dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menentukan posisi yang strategis bagi pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dalam hal ini beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil pendapat yang disampaikan oleh Habbâb bin Mundzir Radhiyallahu anhu .
Dalam perjalanan ini, ada kisah menarik yang bisa dijadikan pelajaran bagi kaum Muslimin yang menginginkan kejayaan. Yaitu, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di daerah berbatu al-Wabirah, seseorang musyrik menyusul mereka dan menyatakan kesiapannya bergabung berperang bersama pasukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Namun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak serta merta menyambut uluran tangan si musyrik ini, meski beliau menyadari jumlah pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terlebih dahulu bertanya : “Apakah kamu beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Orang itu menjawab : “Tidak.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ارْجِعْ فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ
Pulanglah kamu karena kami tidak akan meminta tolong kepada orang musyrik [HR. Muslim 3/1449-1450]
Kemudian orang itu berlalu. Ketika kami sampai di asy-Syajarah dia menyusul lagi dan menawarkan diri lagi untuk yang kedua kalinya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tanggapan yang sama dengan yang pertama. Kemudian dia berlalu lagi. Ketika kami sampai di al-Baidâ’, orang itu menyusul lagi dan menawarkan diri lagi untuk yang ketiga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengulangi pertanyaan beliau ketika orang ini menawarkan diri untuk pertama kalinya : “Apakah kamu beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Orang itu menjawab : “Ya.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan orang ini bergabung dengan pasukan kaum Muslimin[10].
Pelajaran dari kisah ini
a. Boleh menaklukkan musuh dengan cara membunuh mereka, merampas harta mereka serta memblokir jalan yang mereka lalui.
b. Boleh menggunakan mata-mata untuk mengetahui rencana-rencana musuh, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Basbas Radhiyallahu anhu sebagai mata-mata.
c. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempertegas pentingnya bermusyawarah dengan orang yang ahli.
(Diangkat dari as-Sîratun Nabawiyah Fî Dhau’il Mashâdiril Ashliyah, hlm. 337:345)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq dengan sanad yang hasan – Ibnu Hisyâm 2/295
[2]. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberitahukan oleh seorang Shahabat yang diutus oleh Rasulullah n sebagai mata-mata, sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Muslim, no. 1901
[3]. HR. al-Haitsamiy dalam al-Mujma`. Beliau t mengatakan : Imam at-Thabariy meriwayatkan hadits ini dengan sanad hasan.
[9]. HR Muslim, no. 1901
[10]. Sebagai penuturan Ka’ab bin Mâlik Radhiyallahu anhu dalam hadits riwayat Imam Bukhâri, no. 4418
[10]. (10’HR Muslim, Syarhun Nawawi 12/84, sedangkan dalam riwayat Imam Bukhâri disebutkan : tiga ratus ditambah sekian belas.
Diriwayatkan oleh at-Thabari dalam tafsîr beliau t
[11]. HR Bukhâri, no. 3952
[12]. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishâq, bagian dari hadits tentang perang Badr. Dalam riwayat Imam Muslim, yang berbicara saat itu sebagai wakil dari kaum anshâr adalah Sa’ad bin Ubâdah.
[13]. HR. Muslim, no. 1817

Wednesday, May 25, 2016

peperangan di Qadisiyah

Ketika peperangan di Qadisiyah, peperangan besar Kaum Muslimin di bawah pimpinan Panglima Besar Sa’ad bin Abi Waqash, salah seorang dari sepuluh orang sahabat Rasulullah SAW, di zaman Khalifah Umar bin Khattab, berhadapan dengan Kerajaan Persia di bawah pimpinan Panglima Rustum. Sebelum berperang terlebih dulu Panglima Rustum meminta untuk berunding. Sa’ad bin Abi Waqash mengangkat Mughirah bin Syu’bah jadi Kepala Delegasi memenuhi anjuran berunding itu. Sebelum Utusan Muslimin datang, Rustum menyuruh disediakan jemputan dan sambutan untuk Utusan Islam itu dengan meriah sekali. Tenda-tenda berlapis sutera, hamparan permaidani beraneka warna, senjata lengkap, pedang-pedang yang bersarungkan emas dan perak, bertahtakan ratna mutu manikam. Wazir (mentri) dan orang-orang besar dan Panglima-Panglima Perang memakai mahkota-mahkota bertatahkan intan berlian, Rustum sendiri bersemayam di atas sebuah singgasana keemasan berturang-turang dengan mutiara dan merjan.
Semuanya siap menunggu perutusan Islam. Timbulnya penyambutan seperti itu adalah karena salah sangka. Mereka menyangka bahwa orang-orang Arab itu jika telah melihat harta benda kekayaan yang begini besarnya, menyilaukan mata, akan kendor hatinya untuk melanjutkan perang. Lalu suruh saja mereka pulang saja ke negerinya dengan membawa “oleh-oleh”.Melihat kekayaan itu, pasti orang-orang Arab itu akan mundur dan semangatnya patah. Begitulah yang dipikir oleh Rustum.
Tetapi setelah melihat penyambutan yang seperti itu, dari jauh Ketua Utusan telah mahfum apa yang dimaksud musuh dengan penyambutan begitu. Lalu dia berbisik kepada anggota-anggota perutusan,”Kalian lakukan apa yang nanti aku lakukan!”
Ketua Delegasi langsung masuk ke dalam ruang penyambutan yang beralaskan permaidani tebal dan berturangkan sutera itu tanpa turun dari kudanya. Setelah sampai di tengah ruangan, baru ia turun dari kudanya dan anggota-anggota delegasipun serentak turun, sehingga hamparan-hamparan mahal itu diinjak-injak oleh kuda. Kemudian mereka memautkan kuda-kuda tunggangan mereka pada tonggak-tonggak tenda yang dipasang, sehingga berbisik-bisiklah para pengawal bahwa Utusan-utusan Arab ini tidak tahu sopan santun dan etiket pergaulan raja-raja.
Setelah berhadapan dengan Utusan Kaum Muslimin tersebut, dengan sombong dan angkuhnya, Rustum menegur, seakan-akan kata memerintah :
“Apa yang menarik hati kalian keluar dari negeri kalian lalu menyerang ke dalam negeri kami yang kaya raya ini? Apakah karena kalian kurang makan? Jika demikian, pulanglah kembali. Akan kami perlengkapkan persediaan makanana buat kalian.
Apakah karena kalian bertelanjang, tidak berkain dan berbaju? Jika demikian, pulanglah! Akan kami sediakan kain baju sampai memuaskan kalian.
Apakah karena kalian melarat miskin? Jika demikian, pulanglah, kami akan memberi anugerah emas perak buat kalian, supaya kalian mengecap kekayaan pula”.
Mughirah bin Syu’bah (salah seorang sahabat yang langsung mendapat didikan juga dari Nabi SAW, yang nyaris menempeleng utusan Quraisy, pada perundingan di Hudaibiyah di tahun keenam Hijriyah, karena ketika bercakap, utusan Quraisy itu mengangkat-angkat tangannya dihadapan Nabi SAW, sehingga nyaris tersinggung jenggot Nabi SAW). Mughirah lalu menjawab pertanyaan Rustum :
“Engkau salah sangka! Bukan untuk apa yang engkau sangka itu kami datang menyerbu ke negeri ini dan siap berjuang berkuah darah bersabung nyawa. Bukan karena lapar, bukan karena bertelanjang kurang kain, kurang baju, bukan karena kekurangan perhiasan dan kekayaan dan kemegahan. Sudah engkau lihat sendiri, sepeserpun tidak ada harganya bagi kami permaidani-permaidani tebal ini, emas perak yang engkau hidangkan ini, mahlota-mahkota yang berhiaskan ratna mutu manikam yang memberatkan kepala kalian ini, bantal-bantal penyenang duduk berhiaskan mutiara dan merjan. Omong kosong semua. Bahkan kami datang kepada kamu kemari karena kami mempunyai tugas yang diterima langsung dari Allah, untuk menyampaikan Kalaimatul Haq, Kata-Kata Kebenaran kepada kalian. Kalian hidupdalm jalan fikiran yang gelap selama ini! Kami datang hendak membimbing kalian kepada tempat yang terang. Kalian selama ini hanya budak-budak dari benda-benda itu.Kalau kalian mau menerima ajakan dan anjuran kami, negeri ini tetap di tangan kalian dan kami akan pergi ke tempat lain pula menyerukan seruan ini, dan sejak kini kita hidup bersama dalam satu keyakinan dan Iman, tidak ada kelebihan kami dari kalian dan tidak ada kekurangan kalian dari kami”.
Tetapi Rustum mendengarkan jawaban itu dengan sombong dan angkuhnya, sehingga perundingan gagal, dan peperangan hebat Qadisiyah yang terkenal itupun terjadi. Kedaulatan Persia yang megah, Kerajaan Bani Sasan yang telah berusia beratus tahun sebelum itupun jadi runtuh. Maka tidaklah menolong kuda, kendaraan berpelana berterawang emas, pedang jinawi bersalut emas, mahkota bertatah ratna mutu manikam. Tidaklah ada faedahnya sama sekali, berhadapan dengan suatu tentara yang baru bangkit, penih keimanan, tidak takut mati, yang pedangnya memutuskan leher musuh bukan karena sarungnya emas, tetapi karena tangan yang mengayunkannya kuat dan mata pedangnya tajam

Monday, May 23, 2016

Perang MustaliQ

eperangan Bani Mustaliq berlaku pada  Syaaban, 5 Hijrah. Serangan terhadap Bani al-Mustaliq di buat kerana mereka membantu orang Quraisy Makkah dalam peperangan Uhud.
Bani Mustaliq terletak di laluan hijrah Makah–Madinah, lebih dekat kepada Makah. Peperangan berlaku di Pengkalan Air Di al Muraisi’ di Wadi Qudaid
Dalam peperangan kali ini, Aisyah r.’anhu  (dan ada riwayat menyebut Ummu Salamah r.’anhu  juga dibawa) telah dibawa bersama Rasulullah ke peperangan Banu al-Mustaliq iaitu setelah dibuat cabutan undi, ini adalah kebiasaan Rasulullah (s.a.w) terhadap isteri-isterinya. Yang menjadi masalah di dalam peperangan ini ialah penglibatan kaum munafik dalam peperangan tersebut, yang menyertai peperangan dalam keadaan berat hati serta sering menjadi batu api dalam tentera Muslimin. Ketua kaum munafik yang ikut serta didalam peperangan ini ialah Abdullah bin Ubay bin Salul.
Di dalam perjalanan pulang selepas berjaya didalam peperangan  tersebut telah terjadi peristiwa, isteri nabi Aisyah r.’anhu ketinggalan daripada rombongan Nabi s.a.w lalu secara kebetulan diselamatkan oleh seorang sahabat. Peristiwa ini menjadi bahan fitnah oleh Abdulah bin Ubai bin Sahul. Peristiwa ini di riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui cerita oleh Aisyah r.’anhu sendiri seperti berikut:
Maksud Hadis riwayat Aisyah r.’anha., istri Nabi saw. ia berkata:
Apabila Rasulullah saw. hendak keluar dalam suatu perjalanan selalu mengadakan undian di antara para istri beliau dan siapa di antara mereka yang keluar undiannya, maka Rasulullah saw. akan berangkat bersamanya.
Aisyah berkata: Lalu Rasulullah saw. mengundi di antara kami untuk menentukan siapa yang akan ikut dalam perang dan ternyata keluarlah undianku sehingga aku pun berangkat bersama Rasulullah saw. Peristiwa itu terjadi setelah diturunkan ayat hijab (Al-Ahzab ayat 53) di mana aku dibawa dalam sekedup dan ditempatkan di sana selama perjalanan kami. Pada suatu malam ketika Rasulullah saw. selesai berperang lalu pulang dan kami telah mendekati Madinah, beliau memberikan aba-aba untuk berangkat. Aku pun segera bangkit setelah mendengar mereka mengumumkan keberangkatan lalu berjalan sampai jauh meninggalkan pasukan tentara. Seusai melaksanakan hajat, aku hendak langsung menghampiri unta tungganganku namun saat meraba dada, ternyata kalungku yang terbuat dari mutiara Zifar putus. Aku pun kembali untuk mencari kalungku sehingga tertahan karena pencarian itu. Sementara orang-orang yang bertugas membawaku mereka telah mengangkat sekedup itu dan meletakkannya ke atas punggung untaku yang biasa aku tunggangi karena mereka mengira aku telah berada di dalamnya.
Ia menambahkan: Kaum wanita pada waktu itu memang bertubuh ringan dan langsing tidak banyak ditutupi daging karena mereka hanya mengkomsumsi makanan dalam jumlah sedikit sehingga orang-orang itu tidak merasakan beratnya sekedup ketika mereka mengangkatnya ke atas unta. Apalagi ketika itu aku anak perempuan yang masih belia. Mereka pun segera menggerakkan unta itu dan berangkat. Aku baru menemukan kalung itu setelah pasukan tentara berlalu. Kemudian aku mendatangi tempat perhentian mereka, namun tak ada seorang pun di sana. Lalu aku menuju ke tempat yang semula dengan harapan mereka akan merasa kehilangan dan kembali menjemputku.
Ketika aku sedang duduk di tempatku rasa kantuk mengalahkanku sehingga aku pun tertidur. Ternyata ada Shafwan bin Muaththal As-Sulami Az-Dzakwani yang tertinggal di belakang pasukan sehingga baru dapat berangkat pada malam hari dan keesokan paginya ia sampai di tempatku. Dia melihat bayangan hitam seperti seorang yang sedang tidur lalu ia mendatangi dan langsung mengenali ketika melihatku karena ia pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab. Aku terbangun oleh ucapannya, “inna lillaahi wa inna ilaihi raji`uun” pada saat dia mengenaliku. Aku segera menutupi wajahku dengan kerudung dan demi Allah, dia sama sekali tidak mengajakku bicara sepatah kata pun dan aku pun tidak mendengar satu kata pun darinya selain ucapan “inna lillahi wa inna ilaihi raji`uun”.
Kemudian ia menderumkan untanya dan memijak kakinya, sehingga aku dapat menaikinya. Dan ia pun berangkat sambil menuntun unta yang aku tunggangi hingga kami dapat menyusul pasukan yang sedang berteduh di tengah hari yang sangat panas.
Maka celakalah orang-orang yang telah menuduhku di mana yang paling besar berperan ialah Abdullah bin Ubay bin Salul. Sampai kami tiba di Madinah dan aku pun segera menderita sakit setiba di sana selama sebulan. Sementara orang-orang ramai membicarakan tuduhan para pembuat berita bohong padahal aku sendiri tidak mengetahui sedikit pun tentang hal itu. Yang membuatku gelisah selama sakit adalah bahwa aku tidak lagi merasakan kelembutan Rasulullah saw. yang biasanya kurasakan ketika aku sakit. Rasulullah saw. hanya masuk menemuiku, mengucapkan salam, kemudian bertanya:
Bagaimana keadaanmu? Hal itu membuatku gelisah, tetapi aku tidak merasakan adanya keburukan, sampai ketika aku keluar setelah sembuh bersama Ummu Misthah ke tempat pembuangan air besar di mana kami hanya keluar ke sana pada malam hari sebelum kami membangun tempat membuang kotoran  di dekat rumah-rumah kami. Kebiasaan kami sama seperti orang-orang Arab dahulu dalam buang air. Kami merasa terganggu dengan tempat-tempat itu bila berada di dekat rumah kami. Aku pun berangkat dengan Ummu Misthah, seorang anak perempuan Abu Ruhum bin Muthalib bin Abdi Manaf dan ibunya adalah putri Shakher bin Amir, bibi Abu Bakar Sidik. Putranya bernama Misthah bin Utsatsah bin Abbad bin Muththalib. Aku dan putri Abu Ruhum langsung menuju ke arah rumahku sesudah selesai buang air. Tiba-tiba Ummu Misthah terpeleset dalam pakaian yang menutupi tubuhnya sehingga terucaplah dari mulutnya kalimat: Celakalah Misthah!
Aku berkata kepadanya: Alangkah buruknya apa yang kau ucapkan! Apakah engkau memaki orang yang telah ikut serta dalam perang Badar? Ummu Misthah berkata: Wahai junjunganku, tidakkah engkau mendengar apa yang dia katakan? Aku menjawab:
Memangnya apa yang dia katakan? Ummu Misthah lalu menceritakan kepadaku tuduhan para pembuat cerita bohong sehingga penyakitku semakin bertambah parah. Ketika aku kembali ke rumah, Rasulullah saw. masuk menemuiku, beliau mengucapkan salam kemudian bertanya:
Bagaimana keadaanmu?
Aku berkata: Apakah engkau mengizinkan aku mendatangi kedua orang tuaku?
Pada saat itu aku ingin meyakinkan kabar itu dari kedua orang tuaku. Begitu Rasulullah saw. memberiku izin, aku pun segera pergi ke rumah orang tuaku. Sesampai di sana, aku bertanya kepada ibu:
Wahai ibuku, apakah yang dikatakan oleh orang-orang mengenai diriku?
Ibu menjawab: Wahai anakku, tenanglah! Demi Allah, jarang sekali ada wanita cantik yang sangat dicintai suaminya dan mempunyai beberapa madu, kecuali pasti banyak berita kotor dilontarkan kepadanya.
Aku berkata: Maha suci Allah! Apakah setega itu orang-orang membicarakanku? Aku menangis malam itu sampai pagi air mataku tidak berhenti mengalir dan aku tidak dapat tidur dengan nyenyak. Pada pagi harinya, aku masih saja menangis.
Beberapa waktu kemudian Rasulullah saw. memanggil Ali bin Abu Thalib dan Usamah bin Zaid untuk membicarakan perceraian dengan istrinya ketika wahyu tidak kunjung turun. Usamah bin Zaid memberikan pertimbangan kepada Rasulullah saw. sesuai dengan yang ia ketahui tentang kebersihan istrinya (dari tuduhan) dan berdasarkan kecintaan dalam dirinya yang ia ketahui terhadap keluarga Nabi saw.
Ia berkata: Ya Rasulullah, mereka adalah keluargamu dan kami tidak mengetahui dari mereka kecuali kebaikan.
Sedangkan Ali bin Abu Thalib berkata: Semoga Allah tidak menyesakkan hatimu karena perkara ini, banyak wanita selain dia (Aisyah). Jika engkau bertanya kepada budak perempuan itu (pembantu rumah tangga Aisyah) tentu dia akan memberimu keterangan yang benar.
Lalu Rasulullah saw. memanggil Barirah (jariyah yang dimaksud) dan bertanya: Hai Barirah! Apakah engkau pernah melihat sesuatu yang membuatmu ragu tentang Aisyah? Barirah menjawab: Demi Zat yang telah mengutusmu membawa kebenaran! Tidak ada perkara buruk yang aku lihat dari dirinya kecuali bahwa Aisyah adalah seorang perempuan yang masih muda belia, yang biasa tidur di samping adonan roti keluarga lalu datanglah hewan-hewan ternak memakani adonan itu.
Kemudian Rasulullah saw. berdiri di atas mimbar meminta bukti dari Abdullah bin Ubay bin Salul. Di atas mimbar itu, Rasulullah saw. bersabda:
Wahai kaum muslimin, siapakah yang mau menolongku dari seorang yang telah sampai hati melukai hati keluarga? Demi Allah! Yang kuketahui pada keluargaku hanyalah kebaikan. Orang-orang juga telah menyebut-nyebut seorang lelaki yang kuketahui baik. Dia tidak pernah masuk menemui keluargaku (istriku) kecuali bersamaku.
Maka berdirilah Saad bin Muaz Al-Anshari seraya berkata: Aku yang akan menolongmu dari orang itu, wahai Rasulullah. Jika dia dari golongan Aus, aku akan memenggal lehernya dan kalau dia termasuk saudara kami dari golongan Khazraj, maka engkau dapat memerintahkanku dan aku akan melaksanakan perintahmu.
Mendengar itu, berdirilah Saad bin Ubadah. Dia adalah pemimpin golongan Khazraj dan seorang lelaki yang baik tetapi amarahnya bangkit karena rasa fanatik golongan. Dia berkata tertuju kepada Saad bin Muaz: Engkau salah! Demi Allah, engkau tidak akan membunuhnya dan tidak akan mampu untuk membunuhnya! Lalu Usaid bin Hudhair saudara sepupu Saad bin Muaz, berdiri dan berkata kepada Saad bin Ubadah: Engkau salah! Demi Allah, kami pasti akan membunuhnya! Engkau adalah orang munafik yang berdebat untuk membela orang-orang munafik. Bangkitlah amarah kedua golongan yaitu Aus dan Khazraj, sehingga mereka hampir saling berbaku-hantam dan Rasulullah saw. masih berdiri di atas mimbar terus berusaha meredahkan emosi mereka mereka hingga mereka diam dan Rasulullah saw. diam.
Sementara itu, aku menangis sepanjang hari, air mataku tidak berhenti mengalir dan aku pun tidak merasa nyenyak dalam tidur. Aku masih saja menangis pada malam berikutnya, air mataku tidak berhenti mengalir dan juga tidak merasa enak tidur. Kedua orang tuaku mengira bahwa tangisku itu akan membelah jantungku. Ketika kedua orang tuaku sedang duduk di sisiku yang masih menangis, datanglah seorang perempuan Ansar meminta izin menemuiku. Aku memberinya izin lalu dia pun duduk sambil menangis.
Pada saat kami sedang dalam keadaan demikian, Rasulullah saw. masuk. Beliau memberi salam, lalu duduk. Beliau belum pernah duduk di dekatku sejak ada tuduhan yang bukan-bukan kepadaku, padahal sebulan telah berlalu tanpa turun wahyu kepada beliau mengenai persoalanku. Rasulullah saw. mengucap syahadat pada waktu duduk kemudian bersabda: Selanjutnya.
Hai Aisyah, sesungguhnya telah sampai kepadaku bermacam tuduhan tentang dirimu. Jika engkau memang bersih, Allah pasti akan membersihkan dirimu dari tuduhan-tuduhan itu. Tetapi kalau engkau memang telah berbuat dosa, maka mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya. Sebab, bila seorang hamba mengakui dosanya kemudian bertobat, tentu Allah akan menerima tobatnya.
Ketika Rasulullah saw. selesai berbicara, air mataku pun habis sehingga aku tidak merasakan satu tetespun terjatuh. Lalu aku berkata kepada ayahku: Jawablah untukku kepada Rasulullah saw. mengenai apa yang beliau katakan. Ayahku menyahut: Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan kepada Rasulullah saw. Kemudian aku berkata kepada ibuku: Jawablah untukku kepada Rasulullah saw.! Ibuku juga berkata: Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepada Rasulullah saw. Maka aku pun berkata:
Aku adalah seorang perempuan yang masih muda belia. Aku tidak banyak membaca Alquran. Demi Allah, aku tahu bahwa kalian telah mendengar semua ini, hingga masuk ke hati kalian, bahkan kalian mempercayainya. Jika aku katakan kepada kalian, bahwa aku bersih dan Allah pun tahu bahwa aku bersih, mungkin kalian tidak juga mempercayaiku. Dan jika aku mengakui hal itu di hadapan kalian, sedangkan Allah mengetahui bahwa aku bersih, tentu kalian akan mempercayaiku. Demi Allah, aku tidak menemukan perumpamaan yang tepat bagiku dan bagi kalian, kecuali sebagaimana dikatakan ayah Nabi Yusuf: Kesabaran yang baik itulah kesabaranku. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kalian ceritakan.
Kemudian aku pindah dan berbaring di tempat tidurku. Demi Allah, pada saat itu aku yakin diriku bersih dan Allah akan menunjukkan kebersihanku. Tetapi, sungguh aku tidak berharap akan diturunkan wahyu tentang persoalanku. Aku kira persoalanku terlalu remeh untuk dibicarakan Allah Taala dengan wahyu yang diturunkan. Namun, aku berharap Rasulullah saw. akan bermimpi bahwa Allah membersihkan diriku dari fitnah itu.
Rasulullah saw. belum lagi meninggalkan tempat duduknya dan tak seorang pun dari isi rumah ada yang keluar, ketika Allah Taala menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Tampak Rasulullah saw. merasa kepayahan seperti biasanya bila beliau menerima wahyu, hingga bertetesan keringat beliau bagaikan mutiara di musim dingin, karena beratnya firman yang diturunkan kepada beliau. Ketika keadaan yang demikian telah hilang dari Rasulullah saw. (wahyu telah selesai turun), maka sambil tertawa perkataan yang pertama kali beliau ucapkan adalah:
Bergembiralah, wahai Aisyah, sesungguhnya Allah telah membersihkan dirimu dari tuduhan. Lalu ibuku berkata kepadaku: Bangunlah! Sambutlah beliau! Aku menjawab: Demi Allah, aku tidak akan bangun menyambut beliau. Aku hanya akan memuji syukur kepada Allah. Dialah yang telah menurunkan ayat Alquran yang menyatakan kebersihanku. Allah Taala menurunkan ayat:
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golonganmu juga, dan sepuluh ayat berikutnya.
Allah menurunkan ayat-ayat tersebut yang menyatakan kebersihanku. Abu Bakar yang semula selalu memberikan nafkah kepada Misthah karena kekerabatan dan kemiskinannya, pada saat itu mengatakan: Demi Allah, aku tidak akan lagi memberikan nafkah kepadanya sedikitpun selamanya, sesudah apa yang dia katakan terhadap Aisyah.
Sebagai teguran atas ucapan itu, Allah menurunkan ayat selanjutnya ayat:
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian, bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat mereka, orang-orang miskin sampai pada firman-Nya: Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian. (Hibban bin Musa berkata: Abdullah bin Mubarak berkata: Ini adalah ayat yang paling aku harapkan dalam Kitab Allah). Maka berkatalah Abu Bakar:
Demi Allah, tentu saja aku sangat menginginkan ampunan Allah. Selanjutnya dia (Abu Bakar) kembali memberikan nafkah kepada Misthah seperti sediakala dan berkata: Aku tidak akan berhenti memberikannya nafkah untuk selamanya.
Aisyah meneruskan: Rasulullah saw. pernah bertanya kepada Zainab binti Jahsy, istri Nabi saw. tentang persoalanku: Apa yang kamu ketahui? Atau apa pendapatmu? Zainab menjawab: Wahai Rasulullah, aku selalu menjaga pendengaran dan penglihatanku (dari hal-hal yang tidak layak). Demi Allah, yang kuketahui hanyalah kebaikan. Aisyah berkata: Padahal dialah yang menyaingi kecantikanku dari antara para istri Nabi saw. Allah menganugerahinya dengan sikap warak (menjauhkan diri dari maksiat dan perkara meragukan) lalu mulailah saudara perempuannya, yaitu Hamnah binti Jahsy, membelanya dengan rasa fanatik (yakni ikut menyebarkan apa yang dikatakan oleh pembuat cerita bohong). Maka celakalah ia bersama orang-orang yang celaka. (Shahih Muslim  Terjemahan oleh oleh Ustaz Sofyan Efendi HadiisWeb)

Wednesday, May 18, 2016

PeranG Hunain


Awalnya ialah pemimpin-pemimpin kabilah Hawazin dan Tsaqif khawatir kalau Mekkah takluk dan akan tiba giliran mereka ditaklukkan. Karena itu, mereka berinisiatif untuk menyerang kaum Muslimin terlebih dahulu. Dikumpulkanlah seluruh rakyat dan semua harta benda yang mereka miliki untuk dibawa ke medan perang. Pasukan mereka itu dipimpin oleh Malik bin Auf.
Pada saat itu ada 12.000 tentara perang di bawah panji Nabi. Dari jumlah itu, 10.000 orang menyertainya dari Madinah dalam pembebasan Mekah, sedang yang 2.000 berasal dari kaum Quraisy yang baru masuk islam, dengan Abu Sofyan sebagai pemimpinnya.
Di masa itu, tentara sebesar itu hampir tidak ada di tanah Arab. Namun, justru kekuatan jumlah mereka inilah yang menjadi penyebab kekalahan awal mereka, Sebabnya, berlainan dengan di masa lalu, sekarang mereka membanggakan diri karena jumlahnya yang besar. Akibatnya, mereka mengabaikan taktik dan prinsip-prinsip perang.
Ketika para sahabat melihat jumlah tentara yang besar itu ada di antara mereka yang berkata, “Sama sekali kita tidak akan kalah, karena jumlah tentara kita jauh lebih besar daripada musuh.” Namun, ia tidak menyadari bahwa keunggulan jumlah bukanlah satu-satunya faktor penentu kemenangan.
Melihat jumlah pasukan yang besar tersebut, Malik memutuskan untuk menambah jumlah tentara dan berusaha mengatasi kelemahan moral tentaranya dengan tipu daya licik, yakni dengan melakukan serangan mendadak. Untuk mencapai tujuan itu Malik berkemah di ujung lembah yang mengarah ke wilayah Hunain. Kemudian ia emmerintahkan semua tentaranya bersembunyi di balik batu-batu dan celah-celah bukit tinggi di sekitar lembah itu.
Pasukan Islam beristirahat di malam hari di mulut lembah tadi. Sebelum fajar, pasukan Muslim dari suku Bani Salim tiba di jalur lembah Hunain di bawah komando Khalid bin Walid. Ketika sebagian besar tentara Islam masih di dalam lembah itu, tiba-tiba terdengar bunyi riuh desiran panah dan teriakan ramai pasukan musuh yang sebelumnya telah duduk menghadang di balik batu-batu. Panah menghujani mereka, dan sekelompok musuh menyerang di bawah lindungan para pemanahnya. Serangan mendadak ini menyebabkan kaum Muslimin berlarian dan mereka segera mencari perlindungan. Kekacauan dan perpecahan pun timbul.
Melihat kekacauan tersebut, Nabi memanggil Abbas untuk memanggil kembali kaum Muslimin yang berhamburan. “Hei, Anshar yang menolong Nabi-Nya! Hai, kaum yang membai’at Nabi di bawah pohon surga! Kemana kamu akan pergi? Nabi masih berada di sini!”
Kata-kata Abbas sampai ke telinga kaum Muslimin dan merangsang semangat dan gairah keagamaan mereka. Mereka semua segera menyambut dengan mengatakan, “Labbaik! Labbaik!” Lalu kembali dengan gagah berani bersama-sama dengan Nabi.
Kaum Muslimin melakukan serangan balasan. Dan dalam waktu yang sangat singkat, mereka berhasil memukul mundur musuh. Untuk memberi semangat kepada kaum Muslimin, Nabi mengatakan, “Saya Nabi Allah dan tidak pernah berdusta, dan Allah telah menjanjikan kemenangan kepada saya.”
Taktik perang ini berhasil membuat para kaum Hawazin dan Tsaqif melarikan diri ke wilayah Autas dan Nakhlah dan ke benteng Thaif, dengan meninggalkan kaum wanita, harta benda mereka, serta tentaranya yang mati di medan pertempuran.
Pengepungan Thaif
Orang-orang musyrik yang kalah di Perang Hunain segera berlindung ke benteng Thaif. Mereka segera mengumpulkan perbekalan yang cukup untuk satu tahun, sehingga ketika mereka dikepung oleh kaum Muslimin, mereka hanya tinggal mempertahankan diri saja.
Rasulullah bersama kaum Muslimin mengepung kota Thaif selama 20 hari, melempar benteng dengan manjaniq dan berusaha membuka benteng. Akan tetapi, sangat sulit untuk merobohkan benteng Thaif.

Saturday, May 14, 2016

perang yarmuk

ALAH  terus menerus digempur pasukan muslimin pimpinan Sang Pedang Allah, Khalid ra., Kekaisaran Bizantium mengerahkan pasukan besar-besaran yang menjadi klimaks benturan terbesar antar dua kekuatan pada bulan Agustus 636 M. Sejumlah 200.000 lebih pasukan Romawi dibantu suku Arab Kristen Ghasan, Yunani, Prancis, Armenia, Rusia, Slavic dan lainnya berhadapan dengan hanya 25.000 pasukan muslimin.  (Versi lain menyebutkan jumlah kekuatan Muslimin yaitu 40.000 orang)
Heraclius menunjuk Theodorus Trithurius sebagai panglima tertinggi. Sementara Ghasan dipimpin Jabalah bin Aisham Dairjan, Armenia dipimpin rajanya, Mahan, dan Rusia dipimpin Buccinator (Qanateer). Gabungan seluruh pasukan Eropa dipimpin oleh Gregory (Gregorius) dan Dairjan (alWaqidi hal.106).
Para sejarawan menyebut perang Yarmuk yang terjadi di tepi Sungai Yarmuk sebagai salah satu perang menentukan di dunia. Perang ini juga menempatkan Khalid ra. sebagai seorang Panglima  perang terbaik dan komandan kavaleri terbaik pada Zaman Pertengahan (Middle Ages).
Heraklius bertekad untuk mengusir kaum muslimin dari daerah jajahannya, namun ia sebenarnya sangsi apakah bisa atau tidak melawan arus Islam yang terus menebarkan pesonanya. Jauh bertahun-tahun sebelumnya, Heraclius pernah menerima surat dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang dibawa oleh Dihya bin Khalifah al-Kalbi.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad hamba Allah dan utusan-Nya kepada Heraclius penguasa Romawi.
Salam sejahtera bagi orang yang mengikuti petunjuk. Masuk Islamlah, niscaya kamu selamat. Masuk Islamlah, niscaya Allah memberimu pahala dua kali lipat. Jika kamu berpaling, kamu akan menanggung dosa orang-orang Romawi.
Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang sama di antara kita, bahwa kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah, dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan tidak (pula)sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai sembahan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka :
“Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”
Heraklius kemudian mengundang Abu Sofyan dan pedagang Quraisy lainnya yang kebetulan sedang berdagang di Syam untuk mendiskusikan tentang Muhammad. Setelah bertanya-tanya panjang lebar, Heraclius lalu berkomentar tentang Muhammad,  “Jika apa yang telah kau katakan adalah benar maka ia akan dapat memiliki tempat kedua kakiku berdiri ini. Aku tahu bahwa ia akan diutus. Aku tidak menyangka ternyata ia dari  bangsa kalian. Jika saja aku dapat memastikan bahwa aku akan bertemu dengannya niscaya aku memilih bertemu dengannya. Jika aku ada di sisinya, pasti aku cuci kedua kakinya.”
Persiapan perang sudah dilakukan  sejak akhir tahun 635. Pada bulan Mei 636, kekuatan pasukan Bizantium dan sekutu sudah berkonsentrasi di Antiokia dan daerah Syiria Utara. Sementara di pihak muslimin, pasukan dibagi menjadi 4 satuan, satuan Amru bin Ash ra. di Palestina, satuan Syurahbil ra. di Yordania, satuan Yazed ra. di Caesarea (Sekarang Tel Aviv) dan yang terakhir satuan Abu Ubaidah ra. bersama Khalid ra. di Emessa.
Sebuah pertempuran yang menentukan nasib masa depan masing- masing panji. Benturan antara panji tauhid dan panji kebatilan. Panji kekufuran yang diusung Theod orus memiliki sebuah rencana strategi tempur sebagai berikut :
  1. Qanateer akan bergerak sepanjang jalur pantai menuju Beirut, kemudian mendekati Damaskus dari arah Barat dan mencegat pasukan Abu Ubaidah.
  2. Jabalah membawa pasukannya dari Aleppo (Halab), menuju Emessa (Hims) melalui Hama dan menggempur pasukan muslim di daerah Emessa. Pasukan ini yang kemungkinan pertama bertempur.
  3. Dairjan bergerak pada jalur antara pantai dan Aleppo kemudian mendekati Emessa dari arah barat. Berikutnya menyerang pasukan muslimin dari samping saat sedang bertempur dengan Jabalah.
  4. Gregory membantu menyerang ke Emessa dari arah Timur Laut dan menyerang dari sisi kanan bersamaan dengan serangan Dairjan.
  5. Mahan membantu pasukan Jabalah dari arah belakang dan menjadi pasukan cadangan.
Pada pertengahan Juni 636 M, parade tempur Bizantium bergerak dari Antiokia, namun tercium oleh intelijen muslimin yang tersebar di seluruh daratan Suriah. Khalid ra. segera meminta pasukan muslimin untuk mundur dan bergabung sehingga menjadi lebih kuat. Ia menyarankan pada Abu Ubaidah untuk mundur ke selatan meninggalkan daerah teritorinya menuju Jabbiya serta mengembalikkan Jizyah yang diberikan oleh rakyat yang baru dikuasai. Sebuah sikap belas kasih dan pemurah yang jarang dimiliki oleh para penakluk (alBaladuri hal.143).
Saat Jabalah tiba di Emessa, ia  tidak menemukan seorang Muslimin di sana. Qanater pun memasuki Damaskus tanpa tersisa seorang pasukan Muslimin. Semua mundur ke selatan. Gerakan Muslimin begitu cepat sehingga tidak terdeteksi oleh musuh.
Pada pertengahan Juli 636 M, situasi mulai kritis, Abu Ubaidah sangat cemas memikirkan kondisi terburuk yang mungkin menimpa Muslimin mengingat begitu besarnya kekuatan yang dihimpun Bizantium. Melalui rapat dewan perang, berbagai pendapat dilontarakan para komandan Muslimin. Ada mengusulkan mundur kembali ke Arabia. Ada yang bersemangat untuk terus berperang dan yakin diberi kemenangan oleh Allah. Abu Ubaidah menoleh kepada Khalid yang diam sedari awal.
“Wahai Abu Sulaiman, apa pendapatmu?”
“Apa yang mereka kemukakan baik, aku punya pandangan berbeda  namun tidak bertentangan dengan mereka.”
“Bicaralah, kami akan mengikutimu.”
“Wahai Jendral, ketahuilah, jika engkau tetap disini (Jabiya), engkau akan membantu musuh untuk menghancurkanmu. Di Caesarea tidak jauh dari Jabiya, ada 40.000 pasukan Romawi pimpinan Konstantin, putra Heraklius.
Aku menyarankanmu, untuk bergerak ke pedataran Yarmuk dan menempatkan Azra di belakangmu. Ini akan memudahkan Khalifah untuk mengirim pasukan bantuan, dan di daerah pedataran,  memudahkan kita dalam mobilisasi kavaleri.” (Al‐Waqidi hal.109).
Pasukan muslimin bergerak menuju Yarmuk dan terjadi pertempuran kecil antar kavaleri (pasukan berkuda) kedua belah pihak. Khalid menjaga barisan belakang Muslimin yang melakukan mobilisasi ke selatan.
Setelah tiba di Yarmuk, Abu Ubaidah menetapkan garis markas pada bagian timur Yarmuk dan disinilah Abu Ubaidah bergabung dengan pasukan Amru bin Ash, Syurahbil dan Yazid. Beberapa hari berikutnya pasukan Jabalah datang dan membuat markas di sebelah utara Wadi ar-Raqad.
Heraklius memerintahkan Mahan, untuk tidak memulai perang sampai dilakukan negoisasi dan diperoleh kesepakatan damai. Mahan mengutus Gregory untuk bernegoisasi dengan pemimpin muslimin, Abu Ubaidah, namun gagal. Kelak Gregory masuk Islam setelah berdialog dengan Khalid ra. Dalam salah satu episode Perang Yarmuk. Terakhir, Jabalah yang berdarah Arab dikirim, namun tetap gagal.
Mahan kemudian mengirim Jabalah dengan sejumlah pasukan besar untuk menjajal kekuatan Muslimin  sekaligus sebagai bentuk gertakkan terhadap Muslimin. Majulah Jabalah  dengan kavalerinya mendekati barisan infantri Muslimin yang bersiap-siap bertahan. Tiba-tiba datanglah sang Pedang Allah dengan kavalerinya sehingga terjadi bentrokan yang berlangsung singkat, dimana Jabalah kembali mundur menghadap Mahan dan melaporkan bahwa pertempuran akan berlangsung sengit nantinya.* (BERSAMBUNG)
Abu Fatah Grania, penilis buku Panglima Surga. @nugrazee

Friday, May 13, 2016

Sejarah Perang Khandaq – Perang Parit

lykkener4: Asal Mula Sejarah Perang Khandaq – Perang Parit ya...: Kumpulan Sejarah - Sejarah perang Khandaq – Perang Parit yang merupakan bagian dari perang antara umat Muslim melawan Quraysh ini terjadi ...

Wednesday, May 11, 2016

PERANG UHUD

Pertempuran Uhud adalah pertempuran yang pecah antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy pada tanggal 22 Maret 625 M (7 Syawal 3 H). Pertempuran ini terjadi kurang lebih setahun lebih seminggu setelah Pertempuran Badar.

Tentara Islam berjumlah 700 orang sedangkan tentara kafir berjumlah 3.000 orang. Tentara Islam dipimpin langsung oleh rasulullah sedangkan tentara kafir dipimpin oleh Abu Sufyan.

Disebut Pertempuran Uhud karena terjadi di dekat bukit Uhud yang terletak 4 mil dari Masjid Nabawi dan mempunyai ketinggian 1000 kaki dari permukaan tanah dengan panjang 5 mil.

Pada saat itu, umat Islam hampir saja menelan kekalahan karena tidak disiplinnya para pasukan yang berada di atas bukit yang tergiur dengan harta rampasan perang sehingga mereka meninggalkan pos mereka yang dipelopori oleh Abdullah bin Ubay.

Hal ini dimanfaatkan oleh tentara-tentara kafir untuk memukul mundur kaum muslimin. Namun, Allah memberikan pertolongan-Nya terhadap kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin meraih kemenangan.

Thursday, May 05, 2016

peperangan di Qadisiyah

Ketika peperangan di Qadisiyah, peperangan besar Kaum Muslimin di bawah pimpinan Panglima Besar Sa’ad bin Abi Waqash, salah seorang dari sepuluh orang sahabat Rasulullah SAW, di zaman Khalifah Umar bin Khattab, berhadapan dengan Kerajaan Persia di bawah pimpinan Panglima Rustum. Sebelum berperang terlebih dulu Panglima Rustum meminta untuk berunding. Sa’ad bin Abi Waqash mengangkat Mughirah bin Syu’bah jadi Kepala Delegasi memenuhi anjuran berunding itu. Sebelum Utusan Muslimin datang, Rustum menyuruh disediakan jemputan dan sambutan untuk Utusan Islam itu dengan meriah sekali. Tenda-tenda berlapis sutera, hamparan permaidani beraneka warna, senjata lengkap, pedang-pedang yang bersarungkan emas dan perak, bertahtakan ratna mutu manikam. Wazir (mentri) dan orang-orang besar dan Panglima-Panglima Perang memakai mahkota-mahkota bertatahkan intan berlian, Rustum sendiri bersemayam di atas sebuah singgasana keemasan berturang-turang dengan mutiara dan merjan.
Semuanya siap menunggu perutusan Islam. Timbulnya penyambutan seperti itu adalah karena salah sangka. Mereka menyangka bahwa orang-orang Arab itu jika telah melihat harta benda kekayaan yang begini besarnya, menyilaukan mata, akan kendor hatinya untuk melanjutkan perang. Lalu suruh saja mereka pulang saja ke negerinya dengan membawa “oleh-oleh”.Melihat kekayaan itu, pasti orang-orang Arab itu akan mundur dan semangatnya patah. Begitulah yang dipikir oleh Rustum.
Tetapi setelah melihat penyambutan yang seperti itu, dari jauh Ketua Utusan telah mahfum apa yang dimaksud musuh dengan penyambutan begitu. Lalu dia berbisik kepada anggota-anggota perutusan,”Kalian lakukan apa yang nanti aku lakukan!”
Ketua Delegasi langsung masuk ke dalam ruang penyambutan yang beralaskan permaidani tebal dan berturangkan sutera itu tanpa turun dari kudanya. Setelah sampai di tengah ruangan, baru ia turun dari kudanya dan anggota-anggota delegasipun serentak turun, sehingga hamparan-hamparan mahal itu diinjak-injak oleh kuda. Kemudian mereka memautkan kuda-kuda tunggangan mereka pada tonggak-tonggak tenda yang dipasang, sehingga berbisik-bisiklah para pengawal bahwa Utusan-utusan Arab ini tidak tahu sopan santun dan etiket pergaulan raja-raja.
Setelah berhadapan dengan Utusan Kaum Muslimin tersebut, dengan sombong dan angkuhnya, Rustum menegur, seakan-akan kata memerintah :
“Apa yang menarik hati kalian keluar dari negeri kalian lalu menyerang ke dalam negeri kami yang kaya raya ini? Apakah karena kalian kurang makan? Jika demikian, pulanglah kembali. Akan kami perlengkapkan persediaan makanana buat kalian.
Apakah karena kalian bertelanjang, tidak berkain dan berbaju? Jika demikian, pulanglah! Akan kami sediakan kain baju sampai memuaskan kalian.
Apakah karena kalian melarat miskin? Jika demikian, pulanglah, kami akan memberi anugerah emas perak buat kalian, supaya kalian mengecap kekayaan pula”.
Mughirah bin Syu’bah (salah seorang sahabat yang langsung mendapat didikan juga dari Nabi SAW, yang nyaris menempeleng utusan Quraisy, pada perundingan di Hudaibiyah di tahun keenam Hijriyah, karena ketika bercakap, utusan Quraisy itu mengangkat-angkat tangannya dihadapan Nabi SAW, sehingga nyaris tersinggung jenggot Nabi SAW). Mughirah lalu menjawab pertanyaan Rustum :
“Engkau salah sangka! Bukan untuk apa yang engkau sangka itu kami datang menyerbu ke negeri ini dan siap berjuang berkuah darah bersabung nyawa. Bukan karena lapar, bukan karena bertelanjang kurang kain, kurang baju, bukan karena kekurangan perhiasan dan kekayaan dan kemegahan. Sudah engkau lihat sendiri, sepeserpun tidak ada harganya bagi kami permaidani-permaidani tebal ini, emas perak yang engkau hidangkan ini, mahlota-mahkota yang berhiaskan ratna mutu manikam yang memberatkan kepala kalian ini, bantal-bantal penyenang duduk berhiaskan mutiara dan merjan. Omong kosong semua. Bahkan kami datang kepada kamu kemari karena kami mempunyai tugas yang diterima langsung dari Allah, untuk menyampaikan Kalaimatul Haq, Kata-Kata Kebenaran kepada kalian. Kalian hidupdalm jalan fikiran yang gelap selama ini! Kami datang hendak membimbing kalian kepada tempat yang terang. Kalian selama ini hanya budak-budak dari benda-benda itu.Kalau kalian mau menerima ajakan dan anjuran kami, negeri ini tetap di tangan kalian dan kami akan pergi ke tempat lain pula menyerukan seruan ini, dan sejak kini kita hidup bersama dalam satu keyakinan dan Iman, tidak ada kelebihan kami dari kalian dan tidak ada kekurangan kalian dari kami”.
Tetapi Rustum mendengarkan jawaban itu dengan sombong dan angkuhnya, sehingga perundingan gagal, dan peperangan hebat Qadisiyah yang terkenal itupun terjadi. Kedaulatan Persia yang megah, Kerajaan Bani Sasan yang telah berusia beratus tahun sebelum itupun jadi runtuh. Maka tidaklah menolong kuda, kendaraan berpelana berterawang emas, pedang jinawi bersalut emas, mahkota bertatah ratna mutu manikam. Tidaklah ada faedahnya sama sekali, berhadapan dengan suatu tentara yang baru bangkit, penih keimanan, tidak takut mati, yang pedangnya memutuskan leher musuh bukan karena sarungnya emas, tetapi karena tangan yang mengayunkannya kuat dan mata pedangnya tajam.

Wednesday, May 04, 2016

perang khaibar

PERANG KHAIBAR

Khaibar adalah daerah yang ditempati oleh kaum Yahudi setelah diusir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Madinah tatkala mereka melanggar perjanian damai. Di sana mereka menyusun makar untuk melampiaskan dendamnya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Islam, dan kaum muslimin.
Dendam Yahudi memang telah menumpuk; mulai terusirnya Bani Qainuqa, Bani Nadhir, terbunuhnya dua tokoh mereka, hingga pembantaian terhadap Bani Quraizhah dan sejumlah tokoh mereka yang dibunuh oleh kaum muslimin.
Telah lewat pembahasan bahwa kaum Yahudi adalah penggerak pasukan Ahzab pada Perang Khandaq. Ini berarti kali yang keempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi umat Yahudi agar kita mengetahui bagaimana sejarah hitam umat Yahudi dan dendam mereka yang sangat mendalam terhadap Islam.
Pasukan Berangkat
Pada bulan Muharram tahun ketujuh Hijriah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama 1400 sahabat yang ikut di Hudaibiyah berangkat menuju Khaibar. Telah kita ketahui bahwa sepulang mereka dari Hudaibiyah Allah menurunkan ayat sebagai janji kemenangan dari-Nya dan perintah untuk memerangi Yahudi di Khaibar dalam firman-Nya:
Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari (membinasakan) mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mukmin dan agar Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath: 20)
Ulama ahli tafsir mengatakan bahwa Allah menjanjikan harta rampasan (ghanimah) yang banyak kepada kaum muslimin, sebagai pendahuluannya adalah harta rampasan yang mereka peroleh pada Perang Khaibar itu. Adapun orang-orang badui atau munafik tatkala mereka mengetahui para sahabat akan menang dan mendapat rampasan perang, maka mereka untuk ikut dalam peperangan tersebut supaya mendapat bagian dari ghanimah maka Allah berfirman,
Orang-orang Badui yang tinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan, “Biarkan kami, niscaya kami mengikuti kamu.’ Mereka hendak mengubah janji Allah. Katakanlah, ‘Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya.’ Mereka mengatakan, ‘Sebenarnya kamu dengki kepada kami.’ Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.” (QS. Al-Fath: 15)
Demikian itu karena Allah telah mengkhususkan rampasan Perang Khaibar sebagai balasan jihad, kesabaran, dan keikhlasan para sahabat yang ikut di Hudaibiyah saja.
Para sahabat berangkat dengan penuh keyakinan dan besar hati terhadap janji Allah, sekalipun mereka mengetahui bahwa Khaibar merupakan perkampungan Yahudi yang paling kokoh dan kuat dengan benteng berlapis dan persenjataan serta kesiapan perang yang mapan. Mereka berjalan sambil bertakbir dan bertahlil dengan mengangkat suara tinggi hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka dan memerintahkan agar merendahkan suara sebab Allah Maha Dekat, bersama kalian, tidak tuli, dan tidak jauh. (Bukhari: 4205)
Sebelum subuh mereka tiba di halaman Khaibar, sedang Yahudi tidak mengetahuinya. Tiba-tiba ketika berangkat ke tempat kerja, mereka (orang-orang Yahudi) dikejutkan dengan keberadaan tentara; maka mereka berkata, “Ini Muhammad bersama pasukan perang.” Mereka kembali masuk ke dalam benteng dalam keadaan takut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allahu Akbar, binasalah Khaibar. Sesungguhnya jika kami datang di tempat musuh maka hancurlah kaum tersebut.” (Bukhari dan Muslim)
Kaum muslimin menyerang dan mengepung benteng-benteng Yahudi, tetapi sebagian sahabat pembawa bendera perang tidak berhasil menguasai dan mengalahkan mereka hinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Besok akan kuserahkan bendera perang kepada seseorang yang Allah dan Rasul-Nya mencintai dan dia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memenangkan kaum muslimin lewat tangannya.” Maka para sahabat bergembira dengan kabar ini dan semua berharap agar bendera tersebut akan diserahkan kepadanya, hingga Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak pernah menginginkan kebesaran, kecuali pada Perang Khaibar.”
Pada pagi hari itu para sahabat bergegas untuk berkumpul di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing berharap akan diserahi bendera komando. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dimanakah Ali?” Meraka menjawab, “Dia sedang sakit mata, sekarang berada di perkemahannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Panggillah dia.” Maka mereka memanggilnya. Ali radhiallahu ‘anhu datang dalam keadaan sakit mata (trahom), lalu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi matanya dan sembuh seketika, seakan-akan tidak pernah merasakan sakit. Beliau menyerahkan bendera perang dan berwasiat kepadanya, “Ajaklah mereka kepada Islam sebelum engkau memerangi mereka. Sebab, demi Allah, seandainya Allah memberi hidayah seorang di antara mereka lewat tanganmu maka sungguh itu lebih baik bagimu dari pada onta merah (harta bangsa Arab yang paling mewah ketika itu).” (Muslim)
Perang Tanding
Tatkala berlangsung pengepungan benteng-benteng Yahudi, tiba-tiba pahlawan andalan mereka bernama Marhab menantang dan mengajak sahabat untuk perang tanding. Amir bin Akwa radhiallahu ‘anhumelawannya dan beliau terbunuh mati syahid. Lalu Ali radhiallahu ‘anhu melawannya hingga membunuhnya dan menyebabkan runtuhnya mental kaum Yahudi dan sebagai sebab kekalahan mereka.
Benteng Khaibar terdiri dari tiga lapis, dan masing-masing terdiri atas tiga benteng. Kaum muslimin memerangi dan menguasai benteng demi benteng. Setiap kali Yahudi kalah dari pertahanan pada satu benteng, mereka berlindung dan berperang dalam benteng lainnya hingga kemenagan mutlak berada di tangan kaum muslimin.
Korban Perang
Dalam peperangan ini terbunuh dari kaum Yahudi puluhan orang, sedang wanita dan anak-anak ditawan. Termasuk dalam tawanan adalah Shofiyah binti Huyai yang jatuh di tangan Dihyah al-Kalbi lalu dibeli oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam darinya. Beliau mengajaknya masuk Islam lalu menikahinya dengan mahar memerdekakannya. Adapun yang mati syahid dari kaum muslimin sebanyak belasan orang.
Di antara yang mati syahid adalah seorang badui yang datang dan masuk Islam dan memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk hijrah dan tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammemperoleh rampasan Perang Khaibar maka beliau memberinya bagian, tetapi dia berkata, “Wahai Rasulullah, aku mengikutimu bukan untuk tujuan ini, melainkan agar aku terkena panah di sini (sambil memberi isyarat pada lehernya) sehingga aku masuk surga.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan, “Jika kamu jujur kepada Allah maka pasti Allah buktikan.” Tidak lama kemudian jenazahnya dibawa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terluka pada tempat yang dia isyaratkan sebelumnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Orang ini jujur kepada Allah. Oleh karenanya, Allah memenuhi niatnya yang baik.” Lalu beliau mengafaninya dan memakamkannya. (Mushonnaf Abdurrozaq dengan sanad yang baik, 5:276)
Daging Beracun
Kaum Yahudi tidak pernah dan tidak akan berhenti dari makar buruk terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Islam karena tabiat mereka, sebagaimana digambarkan oleh Allah dalam Alquran:
Mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak.” (QS. Ali Imron: 112)
Tatkala mereka kalah dari Perang Khaibar dan beberapa kali upaya untuk membunuh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam gagal, maka mereka bermaksud untuk membunuh beliau dengan siasat baru. Seorang wanita Yahudi berperan besar dalam makar buruk ini, yaitu memberi hadiah berupa menyuguhkan hidangan daging kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyisipkan racun yang banyak padanya.
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan, daging tersebut mengabari beliau bahwa ia beracun. Maka beliau memuntahkannya. Ini merupakan mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamyang lebih mulia daripada mukjizat Nabi Sulaiman ‘alaihissalam yang memahami bahasa semut sebab ia makhluk hidup yang bernyawa memiiki mulut untuk berbicara, sedangkan sepotong daging tersebut sebagai makhluk yang mati bahkan telah matang dipanggang dengan api.
Adapun Bisri bin Baru radhiallahu ‘anhu, yang ikut makan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggal dunia karena racun tersebut. Sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammembunuh wanita ini sebagai qishosh.
Perdamaian
Setelah umat Yahudi kalah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud untuk mengusir mereka dari Khaibar. Akan tetapi mereka memohon kepada beliau agar membiarkan mereka mengurusi pertanian dengan perjanjian bagi hasil, maka Rasulullah menerima permohonan itu dengan syarat kapan saja beliau menghendaki maka beliau berhak untuk mengusir mereka. Hingga akhirnya mereka diusir oleh Umar bin Khaththab di zaman kekhalifahannya setelah beberapa kali mereka berbuat kejahatan terhadap kaum muslimin.
Pembagian Rampasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi rampasan perang kepada sahabat yang ikut perang yang berjumlah 1400 orang. Namun, seusai perang ini para rombongan Muhajirin berjumlah 53 orang dari Habasyah yang dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu datang dan bertemu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam di Khaibar. Beliau sangat gembira dengan kedatangan mereka. Beliau merangkul Ja’far radhiallahu ‘anhu serta menciumnya seraya bersabda, “Aku tidak mengetahui apakah aku bergembira karena menang dari Khaibar ataukah karena kedatangan rombongan Ja’far.” (Shahih Abu Dawud: 5220)
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi mereka bagian dari rampasan perang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberi bagian kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dan beberapa orang dari suku Daus yang baru datang dalam keadaan Islam. Semua ini beliau lakukan dengan izin dan keikhlasan dari sahabat yang ikut Perang Khaibar dan karena mereka ini terhalang oleh udzur, jika tidak maka pasti mereka akan ikut berperang.
Bahaya Ghulul
Ghulul adalah mengambil rampasan perang sebelum dibagi. Mid’am, seorang pelayan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggal dunia akibat terkena panah. Maka sahabat mengatakan, “Alangkah nikmat, baginya surga.” Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, demi Allah, sesungguhnya pakaian yang diambilnya dari rampasan Khaibar sebelum dibagi menjadi bahan bakar api neraka.” Mendengar ini, ada seseorang yang datang mengaku, “Ini satu atau dua tali sandal aku peroleh sendiri.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu termasuk neraka.” (Bukhari dan Muslim)
Yahudi Fadak
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengauasai dan mengalahkan Khaibar maka Allah menanamkan rasa takut ke dalam hati orang-orang Yahudi di Fadak –sebelah utara Khaibar-, mereka segera mengirim utusan kepada Rasulullah untuk perjanjian damai dengan menyerahkan separuh bumi Fadak kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima tawaran tersebut dan beliau khususkan untuk dirinya sebab ia termasuk rampasan perang (fai) yang diperoleh tanpa perang (pertempuran).
Juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi Yahudi di Wadi Quro hingga mereka menyerah dan kalah. Mengetahui hal ini, Yahudi Taima’ juga segera berdamai dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membayar jizyah (upeti, red.)
Pelajaran
  1. Dalam peperangan Khaibar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan makan daging keledai piaraan.
  2. Tampak mukjizat kenabian seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi mata Aliradhiallahu ‘anhu lalu sembuh, daging yang mengabari beliau bahwa ia mengandung racun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meniup tiga kali pada bekas pukulan pedang yang mengenai lutut Salah bin Akwa radhiallahu ‘anhu lalu dia tidak kesakitan setelah itu.
  3. Boleh berdamai dengan Yahudi dalam waktu yang ditentukan dan boleh memerangi orang kafir pada bulan haram. Lihat Sirah Nabawiiyyah karya Dr. Mahdi Rizqulloh Ahmad: 479-492.
Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 1 Tahun Kesebelas 1432 H